BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mencari sekolah
ideal untuk anak-anak merupakan harapan setiap orang tua. Namun standar sekolah
ideal yang diharapkan para orang tua terkadang belum bisa memenuhi kebutuhan
tersebut. Sekolah formal dianggap kurang mampu mengembangkan segala potensi
yang dimiliki karena sistem sekolah formal yang seringkali membatasi potensi
anak tersebut. Hal itu tentu akan mempengaruhi kondisi pskologis anak.
Setiap orang tua
menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan
moral yang tertanam baik, dan suasana belajar yang menyenangkan. Namun pada
sebagian sekolah formal hal-hal tersebut adakalanya tidak ditemukan di sekolah
umum. Maka banyak orang tua yang mencari alternatif pendidikan di luar sekolah
formal.
Banyaknya
keluhan tentang kondisi pembelajaran formal di sekolah yang tidak sesuai
harapan orang tua menimbulkan isu yang relatif baru bagi alternatif pendidikan
formal, yaitu sekolah rumah. Dari sini muncul keinginan para orang tua untuk
menyekolahkan anaknya di rumah dalam sebuah lembaga sekolah yang disebut
sekolah mandiri atau lebih popular disebut dengan home schooling.
Bagi
sebagian kalangan, mungkin saja sekolah di rumah terlihat tabu. Karena pola
pikir yang terbentuk adalah belajar seharusnya di sekolah formal. Sekolah menjadi satu-satunya pusat pendidikan
dan informasi pengetahuan yang akan diperoleh siswa. Disamping itu pertemanan
sebagai faktor pendukung keberhasilan anak dalam menjalani proses belajarnya.
Hal ini menjadikan para orang tua lebih memilih untuk bersekolah di lembaga
pendidikan formal. Akan tetapi ada juga orang tua yang merasa lebih nyaman jika
anaknya belajar di rumah. Orang tua mempunyai kesempatan lebih banyak untuk
melihat pertumbuhan dan perkembangan proses belajarnya.
Sementara
itu, Islam menempatkan peran orang tua sebagai pendidik utama dalam sebuah
keluarga. Keluarga menjadi dasar bagi anak dalam mengenal lingkungan
sekitarnya. Termasuk dalam urusan keyakinan terhadap Tuhannya (Tauhid).
Sebagaimana Allah SWT berfirman[1]:
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Harapan dari semua itu ialah bagaimana anak dapat
melakukan kegiatan belajarnya dengan baik. Hal ini menunjukkan adanya indikasi
kesesuaian antara konsep yang ditawarkan homeschooling
dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam paper ini topik yang diambil yaitu
“homeschooling dalam pandangan
Islam.”
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Sekolah-Rumah (Homeschooling)
Homeschooling
merupakan salah satu model belajar bagi anak-anak. Sekolah-rumah bukan berarti
tidak belajar. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak
untuk mempersiapkan masa depannya. Di dalam sistem pendidikan Indonesia, eksistensi
homeschooling memiliki dasar hukum
yang jelas di dalam UUD 1945 maupun di dalam UU No 20 tahun 2003
mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, homeschooling disebut jalur pendidikan
informal. Siswa homeschooling dapat
memiliki ijazah sebagaimana siswa sekolah dan dapat melanjutkan sekolah ke
Perguruan Tinggi manapun jika menghendakinya.
Ketika banyak
pihak yang melaksanakan homeschooling
bergabung dan menyusun silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu
merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar. Komunitas
belajar merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan dalam UU mengenai
Komunitas Belajar ada pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (4) :
“Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta
satuan pendidikan yang sejenis.”[2]
Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti
ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal. Hal itu
sejalan dengan UU No 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (6): “Hasil pendidikan
non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah
melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah
atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”[3]
B. Metode Homeschooling
Banyak metode
pendidikan yang dapat diterapkan untuk homeschooling.
Ketika menentukan metode seharusnya disesuaikan dengan gaya anak-anak dalam
belajar. Metode homeschooling sangat
beragam, mulai dari tidak terstruktur (unschooling)
hingga yang sangat terstruktur (school
at-home). Unschooling adalah
membiarkan anak-anak belajar apa saja sesuai minatnya dan orang tua tinggal
memfasilitasinya. School at-home
adalah model belajar seperti sekolah reguler dengan menggunakan buku pegangan
seperti sekolah, namun belajarnya di rumah. Pada dasarnya homeschooling bersifat unik. Karena setiap keluarga mempunyai nilai
dan latar belakang yang heterogen.
C. Sejarah
Perkembangan Homeschooling
Filosofi
berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan
senang belajar sehingga tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang
membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak,
mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu
oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan
luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat
anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak
ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh
sistem sekolah itu sendiri[4].
Pada waktu yang
hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy
Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak
lebih awal (early childhood education). Penelitian
mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia
8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk
bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan
mereka[5].
Setelah
pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt
sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976).
Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di
berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah
untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing
Without Schooling[6].
Serupa dengan
Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai
alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs),
pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan
atas sistem pendidikan di sekolah formal.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Homeschooling dalam Pandangan Islam
Dalam dunia
pendidikan Islam dikenal adanya dua sistem pendidikan, yakni tradisional dan
modern. Pendidikan tradisional menghendaki perkembangan individu yang utuh atas
dasar kemampuan dan minat masing-masing. Setiap orang bebas memilih muatan
pendidikan yang sesuai dengan kondisinya. Layanan individual dalam sistem ini
mendapat porsi yang wajar. Aspek kesadaran dan motivasi intrinsik lebih
menonjol daripada paksaan dan motivasi ekstrinsik.
Dalam sistem
pendidikan Islam modern, ditemukan kenyataan bahwa tidak sepenuhnya diterapkan
prinsip yang sesungguhnya dikehendaki pendidikan modern. Dalam sistem sekolah,
semua peserta didik diperlakukan sama, perbedaan individual dirasakan kurang
mendapat perhatian. Peserta didik ‘dipaksa’ dengan muatan pendidikan yang sama
karena pertimbangan sistem[7].
Homeschooling
merupakan pendidikan bagi anak-anak yang dilaksanakan di rumah dan secara
khusus diberikan oleh guru atau seorang tutor profesional. Jadi pendidikan
tidak diberikan di sekolah umum ataupun swasta. Homeschooling dalam pengertian modern, merupakan alternatif
pendidikan formal di negara-negara maju. Dengan kata lain, praktek homeschooling memindahkan
sekolah dari area umum ke area yang lebih privat, yakni ke rumah. Dari sini tampaknya
lebih direkomendasikan bagi negara yang sudah maju. Bisa jadi ini menyangkut
sarana pembelajaran yang harus benar-benar memadai demi suksesnya program ini.
Pro dan kontra tentu akan bermunculan berkenaan dengan isu ini. Masyarakat yang
tidak setuju dengan homeschooling mengatakan bahwa homeschooling menghambat anak untuk bersosialisasi. Homeschooling hanya akan mengasah kecerdasan
intelektual sementara kebutuhan seorang anak tidak terbatas kepada kecerdasan
intelektual saja, akan tetapi juga meliputi kecerdasan emosi & kecerdasan
spiritual. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosi.
Berangkat dari pertimbangan itu, kalangan yang tidak mendukung menganggap homeschooling belum dibutuhkan untuk keadaan saat
ini. Di sekolah umum anak-anak bisa bertemu masyarakat luas sehingga dapat
melihat dan memahami berbagai strata sosial (bila anak tidak bersekolah di
sekolah yang eksklusif bagi kalangan elit). Anak-anak bisa memiliki teman lebih
banyak sehingga dapat mengenal beraneka manusia dengan watak dan taraf
kecerdasan yang bervariasi sehingga memberi pelajaran yang berharga bagi
kehidupan. Bagi yang memiliki romantisme, dunia sekolah dapat memberikan banyak
kenangan manis dan berharga yang akan menjadi nostalgia dan bagian dari masa
lalu.
Oleh karena itu,
dalam pandangan Islam, salah satu metode yang bisa diterapkan diantaranya
adalah dengan menerapkan pendidikan bagi anak yang berdasarkan akidah Islam. Baik
menggunakan sistem pendidikan tradisonal maupun modern, pada prinsipnya setiap
anak memiliki ‘kebebasan’ untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Ketika situasi belajar sudah kondusif, anak
akan memiliki keberanian dan lebih termotivasi untuk mendalami ilmu. Hal yang
tidak boleh diabaikan yaitu terlalu mengedepankan kemampuan intelektual. Namun
juga kemampuan spiritual dan sosial. Sehingga anak tidak terjebak pada satu
aspek kecerdasan. Karena Islam sendiri mengajarkan tentang hal-hal yang
bersifat universal (Rahmatan Lil ‘Alamin).
Adapun manfaat Homescholing yang berdasarkan akidah Islam memiliki, diantaranya :
1. Anak
terhindar dari pengaruh buruk lingkungan.
2. Anak
sejak dini mengenal Islam.
3. Lingkungan
pergaulan anak terkontrol oleh orang tuanya secara langsung.
4. Anak
belajar dengan riang dalam menghafal Al-quran.
5. Aktivitas
setiap hari dimulai dengan do’a yang shohih.
6. Beribadah
sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
7. Tidak
tertinggal pengetahuan umumnya karena orangtua dapat mengontrol sendiri pelajaran
umumnya sesuai kelasnya.
8. Dapat
mengikuti ujian negara dan memperoleh Ijazah negeri dari DepDikNas untuk
tingkat SD, SMP, dan SMA.
9. Dapat
melanjutkan ke sekolah-sekolah formal jika menghendaki.
Sedangkann
bagi orang tua, metode homeschooling
juga memiliki nilai-nilai positif sebagai berikut :
1. Terpacu
untuk meningkatkan kualitas dien (tidak boleh kalah dengan anak).
2. Meningkatkan
kreativitas, meningkatkan kualitas komunikasi antara suami istri.
3. Orang
tua harus selalu belajar terus menerus pengetahuan mengenai
ilmu dien dan ilmu umum, karena orangtua adalah gurunya.
4. Orang
tua “dipaksa” menjadi teladan bagi anak didiknya, yaitu anaknya sendiri.
5. Meningkatkan
komunikasi yang berkualitas antara anak dan orang tua melalui pelajaran.
6. Mengetahui
secara langsung kondisi kejiwaan anak dan apa yang di butuhkan oleh anak.
7. Mengetahui
secara langsung kesehatan dan pertumbuhan fisik anak.
8. Hemat
secara financial serta optimal dari
segi hasil.
PENUTUP
1. Ada
dua tipe masyarakat terkait adanya homeschooling.
Pertama, Masyarakat yang setuju dan
yang tidak setuju dengan homeschooling berdasarkan pandangan
tradisional.
2. Homeschooling
dapat diterapkan di Negara-negara berkembang dengan berlandaskan kearifan
lokal.
3. Prinsip
akidah Islam harus benar-benar diterapkan secara komprehensif apabila ingin
mendapatkan hasil yang optimal.
4. Homeschooling
dalam pandangan Islam akan berdampak positif bagi anak dan orang tua dalam
aspek fisik maupun psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Syaiful Akhyar, Pendidikan Islam dalam Era Perubahan Sosial, Hadharah, Jurnal
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berbasis Islam. (Medan: Universitas
al-Washliyah, 2009). hlm. 96.
QS. Luqman/31 : 13. Qur’an digital, 2.1. offline.
UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (4).
UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (6).
Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling.. 2010, hlm. 1.
Simbolon, Pormadi. Homeschooling: Sebuah
Pendidikan Alternatif., hlm. 2.
Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling. 2010, hlm. 2.
[1]
QS. Luqman/31 : 13. Qur’an digital, 2.1. offline
[2]
UUSPN No. 20 Tahun 2003
Pasal 26 (4)
[3] UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26
(6)
[7]
Syaiful Akhyar Lubis, Pendidikan Islam dalam Era Perubahan Sosial, Hadharah, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Berbasis Islam. (Medan: Universitas al-Washliyah, 2009). hlm. 96