Selasa, 25 November 2014

Homeschooling Pandangan Islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mencari sekolah ideal untuk anak-anak merupakan harapan setiap orang tua. Namun standar sekolah ideal yang diharapkan para orang tua terkadang belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut. Sekolah formal dianggap kurang mampu mengembangkan segala potensi yang dimiliki karena sistem sekolah formal yang seringkali membatasi potensi anak tersebut. Hal itu tentu akan mempengaruhi kondisi pskologis anak.
Setiap orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu, nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar yang menyenangkan. Namun pada sebagian sekolah formal hal-hal tersebut adakalanya tidak ditemukan di sekolah umum. Maka banyak orang tua yang mencari alternatif pendidikan di luar sekolah formal.
Banyaknya keluhan tentang kondisi pembelajaran formal di sekolah yang tidak sesuai harapan orang tua menimbulkan isu yang relatif baru bagi alternatif pendidikan formal, yaitu sekolah rumah. Dari sini muncul keinginan para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di rumah dalam sebuah lembaga sekolah yang disebut sekolah mandiri atau lebih popular disebut dengan home schooling.
Bagi sebagian kalangan, mungkin saja sekolah di rumah terlihat tabu. Karena pola pikir yang terbentuk adalah belajar seharusnya di sekolah formal.  Sekolah menjadi satu-satunya pusat pendidikan dan informasi pengetahuan yang akan diperoleh siswa. Disamping itu pertemanan sebagai faktor pendukung keberhasilan anak dalam menjalani proses belajarnya. Hal ini menjadikan para orang tua lebih memilih untuk bersekolah di lembaga pendidikan formal. Akan tetapi ada juga orang tua yang merasa lebih nyaman jika anaknya belajar di rumah. Orang tua mempunyai kesempatan lebih banyak untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan proses belajarnya.
Sementara itu, Islam menempatkan peran orang tua sebagai pendidik utama dalam sebuah keluarga. Keluarga menjadi dasar bagi anak dalam mengenal lingkungan sekitarnya. Termasuk dalam urusan keyakinan terhadap Tuhannya (Tauhid). Sebagaimana Allah SWT berfirman[1]:
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Harapan dari semua itu ialah bagaimana anak dapat melakukan kegiatan belajarnya dengan baik. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kesesuaian antara konsep yang ditawarkan homeschooling dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam paper ini topik yang diambil yaitu “homeschooling dalam pandangan Islam.”

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Konsep Sekolah-Rumah (Homeschooling)
Homeschooling merupakan salah satu model belajar bagi anak-anak. Sekolah-rumah bukan berarti tidak belajar. Sekolah bukan satu-satunya tempat belajar anak dan cara anak untuk mempersiapkan masa depannya. Di dalam sistem pendidikan Indonesia, eksistensi homeschooling memiliki dasar hukum yang jelas di dalam UUD 1945 maupun di dalam UU No 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Sekolah disebut jalur pendidikan formal, homeschooling disebut jalur pendidikan informal. Siswa homeschooling dapat memiliki ijazah sebagaimana siswa sekolah dan dapat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi manapun jika menghendakinya.
Ketika banyak pihak yang melaksanakan homeschooling bergabung dan menyusun silabus serta bahan ajar bagi peserta didiknya, maka itu merupakan suatu kelompok belajar atau disebut Komunitas Belajar. Komunitas belajar merupakan satuan pendidikan jalur nonformal. Acuan dalam UU mengenai Komunitas Belajar ada pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (4) : “Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.”[2] Peserta didik dari Komunitas Belajar yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti ujian nasional pendidikan kesetaraan pada jalur pendidikan non formal. Hal itu sejalan dengan UU No 20 tahun 2003 pasal 26 ayat (6): “Hasil pendidikan non formal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.”[3]
B.     Metode Homeschooling
Banyak metode pendidikan yang dapat diterapkan untuk homeschooling. Ketika menentukan metode seharusnya disesuaikan dengan gaya anak-anak dalam belajar. Metode homeschooling sangat beragam, mulai dari tidak terstruktur (unschooling) hingga yang sangat terstruktur (school at-home). Unschooling adalah membiarkan anak-anak belajar apa saja sesuai minatnya dan orang tua tinggal memfasilitasinya. School at-home adalah model belajar seperti sekolah reguler dengan menggunakan buku pegangan seperti sekolah, namun belajarnya di rumah. Pada dasarnya homeschooling bersifat unik. Karena setiap keluarga mempunyai nilai dan latar belakang yang heterogen.
C.     Sejarah Perkembangan Homeschooling
Filosofi berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar sehingga tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri[4].
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka[5].
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling[6].
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Homeschooling dalam Pandangan Islam
Dalam dunia pendidikan Islam dikenal adanya dua sistem pendidikan, yakni tradisional dan modern. Pendidikan tradisional menghendaki perkembangan individu yang utuh atas dasar kemampuan dan minat masing-masing. Setiap orang bebas memilih muatan pendidikan yang sesuai dengan kondisinya. Layanan individual dalam sistem ini mendapat porsi yang wajar. Aspek kesadaran dan motivasi intrinsik lebih menonjol daripada paksaan dan motivasi ekstrinsik.
Dalam sistem pendidikan Islam modern, ditemukan kenyataan bahwa tidak sepenuhnya diterapkan prinsip yang sesungguhnya dikehendaki pendidikan modern. Dalam sistem sekolah, semua peserta didik diperlakukan sama, perbedaan individual dirasakan kurang mendapat perhatian. Peserta didik ‘dipaksa’ dengan muatan pendidikan yang sama karena pertimbangan sistem[7].
Homeschooling  merupakan pendidikan bagi anak-anak yang dilaksanakan di rumah dan secara khusus diberikan oleh guru atau seorang tutor profesional. Jadi pendidikan tidak diberikan di sekolah umum ataupun swasta. Homeschooling dalam pengertian modern, merupakan alternatif pendidikan formal di negara-negara maju. Dengan kata lain, praktek homeschooling memindahkan sekolah dari area umum ke area yang lebih privat, yakni ke rumah. Dari sini tampaknya lebih direkomendasikan bagi negara yang sudah maju. Bisa jadi ini menyangkut sarana pembelajaran yang harus benar-benar memadai demi suksesnya program ini. Pro dan kontra tentu akan bermunculan berkenaan dengan isu ini. Masyarakat yang tidak setuju dengan homeschooling mengatakan bahwa homeschooling menghambat anak untuk bersosialisasi. Homeschooling hanya akan mengasah kecerdasan intelektual sementara kebutuhan seorang anak tidak terbatas kepada kecerdasan intelektual saja, akan tetapi juga meliputi kecerdasan emosi & kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosi. Berangkat dari pertimbangan itu, kalangan yang tidak mendukung menganggap homeschooling belum dibutuhkan untuk keadaan saat ini. Di sekolah umum anak-anak bisa bertemu masyarakat luas sehingga dapat melihat dan memahami berbagai strata sosial (bila anak tidak bersekolah di sekolah yang eksklusif bagi kalangan elit). Anak-anak bisa memiliki teman lebih banyak sehingga dapat mengenal beraneka manusia dengan watak dan taraf kecerdasan yang bervariasi sehingga memberi pelajaran yang berharga bagi kehidupan. Bagi yang memiliki romantisme, dunia sekolah dapat memberikan banyak kenangan manis dan berharga yang akan menjadi nostalgia dan bagian dari masa lalu.
Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, salah satu metode yang bisa diterapkan diantaranya adalah dengan menerapkan pendidikan bagi anak yang berdasarkan akidah Islam. Baik menggunakan sistem pendidikan tradisonal maupun modern, pada prinsipnya setiap anak memiliki ‘kebebasan’ untuk mengembangkan bakat dan minatnya.  Ketika situasi belajar sudah kondusif, anak akan memiliki keberanian dan lebih termotivasi untuk mendalami ilmu. Hal yang tidak boleh diabaikan yaitu terlalu mengedepankan kemampuan intelektual. Namun juga kemampuan spiritual dan sosial. Sehingga anak tidak terjebak pada satu aspek kecerdasan. Karena Islam sendiri mengajarkan tentang hal-hal yang bersifat universal (Rahmatan Lil ‘Alamin).  
Adapun manfaat Homescholing yang berdasarkan akidah Islam memiliki, diantaranya :
1.      Anak terhindar dari pengaruh buruk lingkungan.

2.      Anak sejak dini mengenal Islam.
3.      Lingkungan pergaulan anak terkontrol oleh orang tuanya secara langsung.
4.      Anak belajar dengan riang dalam menghafal Al-quran.
5.      Aktivitas setiap hari dimulai dengan do’a yang shohih.
6.      Beribadah sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
7.      Tidak tertinggal pengetahuan umumnya karena orangtua dapat mengontrol sendiri pelajaran umumnya sesuai kelasnya.
8.      Dapat mengikuti ujian negara dan memperoleh Ijazah negeri dari DepDikNas untuk tingkat SD, SMP, dan SMA.
9.      Dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah formal jika menghendaki.
Sedangkann bagi orang tua, metode homeschooling juga memiliki nilai-nilai positif sebagai berikut :
1.      Terpacu untuk meningkatkan kualitas dien (tidak boleh kalah dengan anak).
2.      Meningkatkan kreativitas, meningkatkan kualitas komunikasi antara suami istri.
3.      Orang tua harus selalu belajar terus menerus pengetahuan mengenai ilmu dien dan ilmu umum, karena orangtua adalah gurunya.
4.      Orang tua “dipaksa” menjadi teladan bagi anak didiknya, yaitu anaknya sendiri.
5.      Meningkatkan komunikasi yang berkualitas antara anak dan orang tua melalui pelajaran.
6.      Mengetahui secara langsung kondisi kejiwaan anak dan apa yang di butuhkan oleh anak.
7.      Mengetahui secara langsung kesehatan dan pertumbuhan fisik anak.
8.      Hemat secara financial serta optimal dari segi hasil.


PENUTUP

1.      Ada dua tipe masyarakat terkait adanya homeschooling. Pertama, Masyarakat yang setuju  dan yang tidak setuju dengan homeschooling berdasarkan pandangan tradisional.   
2.      Homeschooling dapat diterapkan di Negara-negara berkembang dengan berlandaskan kearifan lokal.
3.      Prinsip akidah Islam harus benar-benar diterapkan secara komprehensif apabila ingin mendapatkan hasil yang optimal.
4.      Homeschooling dalam pandangan Islam akan berdampak positif bagi anak dan orang tua dalam aspek fisik maupun psikologis.
                                                                                                  
                                                                                                  

DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Syaiful Akhyar, Pendidikan Islam dalam Era Perubahan Sosial, Hadharah, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berbasis Islam. (Medan: Universitas al-Washliyah, 2009). hlm. 96.
QS. Luqman/31 : 13. Qur’an digital, 2.1. offline.
UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (4).
UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (6).
Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling.. 2010, hlm. 1.
Simbolon, Pormadi. Homeschooling: Sebuah Pendidikan Alternatif., hlm. 2.
Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling. 2010, hlm. 2.



[1] QS. Luqman/31 : 13. Qur’an digital, 2.1. offline
[2] UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (4)
[3] UUSPN No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 (6)
[4] Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling. 2010, h. 1.
[6] Wikipedia.org, Homeschooling, http://en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling. 2010, h. 2.
[7] Syaiful Akhyar Lubis, Pendidikan Islam dalam Era Perubahan Sosial, Hadharah, Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Berbasis Islam. (Medan: Universitas al-Washliyah, 2009). hlm. 96

Apa itu Inter-multi-trans ?

INTER-MULTI-TRANS
Prentice, A.E (1990), “Introduction” dalam Information Science – The Interdisciplinary Context, ed. J. M. Pemberton dan A.E. Prentice,

New York : Neal-Schuman Publishers.

INTERDISIPLINER
MULTIDISIPLINER
TRANSDISIPLINER
Interdisipliner (interdisciplinary) adalah interaksi intensif antar satu atau lebih disiplin, baik yang langsung berhubungan maupun yang tidak, melalui program-program pengajaran dan penelitian, dengan tujuan melakukan integrasi konsep, metode, dan analisis.
Multidisipliner (multidisciplinar) adalah penggabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu.Transdisipliner (transdisciplinarity) adalah upaya mengembangkan sebuah teori atau aksioma baru dengan membangun kaitan dan keterhubungan antar berbagai disiplin.



Pendekatan Interdisipliner (interdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yag relevan secara terpadu. Di maksud dengan ilmu serumpun ialah ilmu-ilmu yag berada dalam rumpun ilmu tertentu, yaitu rumpun
Ilmu-Ilmu kealaman (IIK), rumpun Ilmu Ilmu Sosial (IIS), atau rumpun Ilmu Ilmu Budaya (IIB) secarac alternatif. Ilmu yang relevan maksudnya ilmu-ilmu yang cocok di gunakan dalam pemecahan suatu masalah.
Pendekatan Multidisipliner (multidisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan.
Pendekatan Transdisipliner (transdisciplinary approach) ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjauan ilmu yang relatif dikuasai dan relevan dengan masalah yang akan di pecahkan tetapi berada di luar keahlian sebagai hasil pendidikan formal (formal education) dari orang yang memecahkan masalah tersebut.
By : Jadid Lativa Garfinkel