Senin, 08 Desember 2014

Konflik Agama Tinjauan Psikologi

KONFLIK AGAMA PERSPEKTIF INTERDISIPLINER
(Analisa Kritis Perspektif Ilmu Psikologi)


A.            Latar Belakang
Perbedaan konsepsi antara agama-agama yang ada merupakan sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Perbedaan konsepsi itu terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi  tentang Tuhan maupun konsepsi pengaturan kehidupan sosial. Hal ini dalam prakteknya cukup sering memicu konflik fisik antara umat yang berbeda agama.
Sebagian kelompok menyatakan bahwa perbedaan konsep keagamaan menjadi sumber konflik utama antar umat manusia. Ini terbukti melalui sejumlah teks  keagamaan yang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Misalnya, dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh (sebutan Tuhan dalam Bibel) digambarkan sebagai “God of War”. Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan).[1] Oleh sebab itu, agama dianggap  sumber konflik atau setidaknya memberikan legitimasi terhadap berbagai konflik sosial.
Ferguson (1977) berpendapat, “Every major religious tradition includes its justification for violence”. Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), Tuhan membunuh masyarakat dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal yang sama.[2]
Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama sebagai sumber konflik telah menimbulkan berbagai upaya menafsirkan kembali ajaran agama kemudian dicarikan titik temu pada level tertentu, dengan harapan konflik diantara umat manusia akan teredam jika faktor “kesamaan agama” diutamakan. Pada level eksoteris agama-agama memang berbeda, namun pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju kepada Tuhan, termasuk Islam dan Kristen.[3]
Secara psikologis, dalam diri individu selalu terjadi konflik (pertentangan) antara yang baik dan buruk. Pembedaan baik dan buruk tersebut bersumber dari pengalaman setiap  individu. Hal ini terkait dengan konflik  moral yang terjadi pada  individu, bukan  sebagai produk sikap keagamaan. Sebab orang-orang yang tidak mempercayai agama sejauh ini bisa juga dipengaruhi oleh suatu sistem kewajiban moral sebagaimana orang-orang yang memiliki sistem keagamaan yang  kuat.
Robert H. Thouless menjelaskan bahwa  ada beberapa interaksi psikologik yang penting antara sikap keagamaan dan konflik moral itu. Disini perlu dikemukakan bahwa dalam interaksi ini terdapat kecenderungan pengalaman konflik moral yang menjadi salah satu sumber sikap keagamaan itu.[4] Konflik moral yang terjadi pada seseorang dapat dianggap sebagai salah satu faktor yang menentukan sikap keagamaan. Konflik tersebut merupakan konflik antara kekuatan-kekuatan yang terdapat pada baik dan buruk dalam dirinya sendiri.
Manusia sebagai individu yang unik memiliki akal (rasio) dan hati (qalb) yang bisa membedakan hal yang baik (haq) dan buruk (bathil). Manusia bebas menentukan sikap beragama sesuai dengan apa yang diyakini dan dipahami. Selama ini realitas yang terjadi di masyarakat, kecenderungan dalam sikap beragama lebih dominan dipengaruhi faktor keturunan. Namun di tengah-tengah perjalanan hidup, tidak sedikit individu yang beralih agama. Fenomena ini tentu berpotensi menimbulkan konflik. Baik yang dialami oleh individu itu sendiri maupun terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya.   
Konflik agama akan menarik ketika dipandang dari berbagai disiplin ilmu (interdisipliner). Sebuah konflik tidak selalu disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan faktor internal yang sangat mungkin berpotensi besar menimbulkan konflik agama. Oleh karena itu, makalah ini berusaha menjelaskan tentang konflik agama perspektif ilmu psikologi.

B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan diatas, maka diambil rumusan masalah :
1.      Bagaimanakah ilmu psikologi memandang sebuah konflik agama ?
2.      Apa saja faktor penyebab terjadinya konflik agama ?
3.      Bagaimana upaya mereduksi konflik agama ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konflik Agama Tinjauan  Psikologi
Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari seputar aktivitas kejiwaan manusia. Dalam hal ini, pilihan manusia untuk beragama dipengaruhi kondisi kejiwaan dan ditentukan pola berfikir. Maka dalam memberikan konsep tentang agama akan bervariatif pula. Menurut salah seorang tokoh psikologi klasik, Sigmund Freud, Dunia agama itu adalah dunia khayalan. Menurutnya, kebutuhan akan iman kepada Tuhan dan agama timbul dari perasaan ketidakmampuan manusia dalam hubungannya terhadap dunia di luarnya. Ketidakmampuan ini mengarah kepada sebuah konflik batin yang hanya dapat dirasakan oleh individu itu sendiri. Konsep gunung es Freud menggambarkan bahwa kepribadian individu ditentukan tiga aspek, yakni id, ego, dan super ego. Pada level superego inilah telah terjadi konflik dalam diri manusia itu sendiri.
Sedangkan William James menyatakan Agama adalah berkenaan dengan nilai untuk membantu manusia  menghadapi kehidupan secara positif dan berani. Itu dilihat sebagai tujuan batas mengenai kenyataan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri kita dan dengan cara-cara untuk menyelamatkan kita dari diri yang salah. Dengan kata lain, agama menolong manusia untuk menerima diri dan kondisi hidupnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada diri manusia juga tidak akan terlepas dari konflik dalam konteks individual.
Konflik merupakan sebuah pertentangan antara individu dengan individu maupun kelompok yang satu dengan yang lain. Salmaini Yeli menulis pendapat Luthans bahwa konflik adalah kondisi yang timbul oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan. Kekuatan-kekuatan itu bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu  perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan.[5] Selanjutnya Salmaini mengemukan hasil analisis penelitian W. Starbuck bahwa timbulnya keraguan manusia terhadap agama disebabkan beberapa faktor, diantaranya yaitu 1) Kepribadian yang  menyangkut salah tafsir terhadap konsep keagamaan dan jenis kelamin individu; 2) Kesalahan organisasi dan pemuka agama; 3) Naluriah; 4) Lingkungan  masyarakat  dan pendidikan; 5)  Percampuradukan  antara agama dan  mistik.
    Dengan kata lain bahwa konflik adalah pertemuan antara dua macam pilihan  yang berbeda dan harus dilaksanakan pada waktu yang sama. Pada saat seseorang dihadapkan dua pilihan, maka  pada waktu itu timbul  konflik dalam diri individu (psikis), namun setiap konflik atau keraguan  selalu  diiringi dengan motif yang disebut dengan konflik motif. Terjadinya konflik motif itu disebabkan  adanya  beberapa tujuan yang ingin dicapai  dalam waktu yang sama. Setiap manusia  mempunyai motif  untuk  bertingkah laku atau  bertindak terhadap sesuatu objek. Motif  merupakan   suatu   pengertian  yang   melingkupi semua  penggerak,  alasan-alasan   atau  dorongan-dorongan dalam  diri manusia yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu yang menjadi keinginan individu. Setiap konflik yang terjadi pada manusia selalu berasal atau ditopang oleh motif yang berada dalam  diri  individu yang mendorong manusia untuk mencapai objeknya.
Sementara itu, Jalaludddin menegaskan macam-macam konflik keagamaan yang dialami  manusia[6], yaitu :
1.      Konflik   yang  terjadi  antara  percaya  dan  ragu-ragu.
2.      Konflik  yang  terjadi  antara pemilihan  satu  diantara  dua macam ide keagamaan serta  lembaga keagamaan.
3.      Konflik yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekulerisme.
4.      Konflik  yang   terjadi  antara   melepaskan   kebiasaan   masa   lalu. 
Oleh karena itu, terdapat dua motif yang perlu diperhatikan dalam menganalisa konflik agama dari sudut pandang psikologi, yakni kebutuhan dan keraguan. Sehingga konflik yang dialami pun terbagi menjadi tiga level, yaitu intrapersonal, interpersonal, dan massa.   

B.     Faktor Penyebab Konflik Agama
Timbulnya konflik terhadap agama merupakan gambaran dari keadaan masyarakat yang dipenuhi oleh penderitaan, kemorosotan moral, penyimpangan, dan korupsi. Pada setiap aspek kehidupan seolah-olah agama atau organisasi tertentu tidak mampu membimbing anggotanya ke arah yang baik.
Pada prinspnya, konflik keagamaan yang terjadi pada individu dipengaruhi  oleh tiga faktor, yaitu :
a.  Intelegensia   (Inteligence)
Edward Thorndike, seorang tokoh psikologi koneksionisme mengatakan  bahwa  “Intellegence from the stand point of truth or fact” Intelegensia merupakan kemampuan individu untuk dapat menyesuaikan dirinya terhadap situasi dan  memberikan respon yang baik terhadap situmulus yang diterimanya.[7] Dalam konteks ini, timbulnya konflik keagamaan disebabkan manusia sebagai makhluk berfikir. Dengan berfikir seseorang dapat menghadapi masalah-masalah kehidupannya. Dan bila seseorang tidak memiliki kemampuan berfikir yang logis niscaya  tidak dapat memahami konsep-konsep agama, hidup, dan sosial dengan baik dan benar. Kondisi itu akan menimbulkan konflik, kebimbangan  atau  keraguan dalam diri mereka. Misalnya, manusia yang mengindentifikasikan bahwa Tuhan itu sama dengan manusia, hal ini  menunjukkan  bahwa intelegensianya belum berfikir dengan logis karena mereka menyamakan kekuasaan Tuhan dengan kekuasaan yang dimiliki manusia. Dari sini muncul dua tipe pola pikir, yaitu pola pikir empiris dan pola pikir wahyu . 
b. Jenis Kelamin
Faktor ini  termasuk  salah  satu  data  dan   fakta  yang cukup mempengaruhi terjadinya kebimbangan individu terhadap agama yang  disebabkan perbedaan jenis kelamin.  Dimana jenis kelamin perempuan sedikit sekali mengalami kebimbangan dalam beragama, sedangkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak terjadinya kebimbangan dalam beragama. Disebabkan laki-laki lebih banyak  menganalisa ajaran-ajaran agama yang akan dianutnya dengan pemikiran. Sedangkan wanita kebanyakan menerima jaran-ajaran agama tanpa kritik.[8]
c. Tradisi Agama (Religious Tradition)
Keluarga yang  hidup dilingkungan masyarakat yang keras dan ketat dalam memegang nilai-nilai dan ajaran  agamanya akan menimbulkan keraguan (kebimbangan) terhadap agama yang memiliki tradisi keagamaan, Sebaliknya,  orang-orang yang melaksanaan tradisi-tradisi  yang telah mereka terima secara turun temurun, akan turut membentuk sikap keagamaan individu. Dalam sosiologi tradisi keagamaan itu termasuk kedalam pranata primer yang sulit untuk dirubah karena menyangkut dengan kepercayaan, agama dan jati diri individu.
Timbulnya tradisi agama berasal dari emosi  keagamaan yang terjadi pada diri individu. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa emosi keagamaan atau religious emotion adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian  menghilang  lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religi kemudian dari emosi keagamaan itu timbulnya konflik atau keraguan individu  yang berbeda  dalam  memahami agamanya.[9]

C.    Upaya Mereduksi Konflik Agama
Konflik agama pada dasarnya tidak perlu dihilangkan. Atau bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Karena itu bersifat sunnatullah yang akan selalu hadir di sepanjang jaman. Ada agama atau tidak, manusia pasti akan mengalami konflik secara psikis maupun sosial. Maka yang dibutuhkan dalam menangani konflik agama saat ini adalah upaya mereduksi konflik agama yang dapat dilakukan menurut tinjauan  psikologi adalah sebagai berikut :
1.      Mengubah paradigma berpikir individu. Agama tidak serta merta dijadikan  sasaran sumber konflik, baik individual maupun sosial. Manusia pada dasarnya memiliki perasaan cemas dan harap dalam situasi apapun. Kondisi psikis inilah yang kiranya perlu untuk direkonstruksi dengan cara mencoba memadukan antara ajaran wahyu dan rasional yang dikaitkan dengan situasi masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.  
2.      Membangun kesadaran toleransi pada setiap kegiatan ritual keagamaan antar masyarakat tanpa harus mementingkan ego masing-masing.
3.      Membangun tradisi agama berbasis kearifan. Cara ini dapat ditempuh melalui jalan dialog yang berimbang dan tidak ada upaya saling menjatuhkan satu sama lain.








BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa :
a.       Konflik agama merupakan kondisi yang menunjukkan pertentangan atau keraguan terhadap dua hal yang terjadi pada tiga level, yakni intrapersonal, interpersonal, dan massa.
b.       Faktor-faktor yang dapat menyebabkan konflik agama yaitu inteligensi, jenis kelamin, dan tradisi agama.
c.       Konflik agama bukanlah suatu pertentangan yang tidak ada titik temunya, melainkan sebuah kondisi yang senatiasa terjadi kapanpun dan dimanapun sepanjang manusia memiliki sifat-sifat dasar sebagai makhluk yang berbudi luhur.








Daftar Pustaka
E. Usman  Effendi dan Juhaya S.Praja. 1985.  Pengantar Psikologi,  Bandung: Angkasa,  Cet, II.
Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama,  Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Cet. I.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT.  Dian Rakyat, Cet. VI.

Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks.
Saiful Hamali. Konflik  Dan  Keraguan  Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013.

Salmaini Yeli. 2012. Psikologi  Agama, Pekan Baru : Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau,  Cet.  I.  

Robert H. Thouless. 1992. An Introduction to the psychology of Religion, Terj. Machnun  Husein, Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1.






[1] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39
[2] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216
[3] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada “menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan,  Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[4] Robert H. Thouless, An Introduction to the psychology of Religion, Terj. Machnun Husein, Jakarta : CV. Rajawalai, Cet. 1, 1992, hal. 72

[5] Salmaini Yeli, Psikologi  Agama, Pekan Baru : Penerbit Zanafa dan Fak.Ush.UIN Suska Riau,  Cet.  I, 2012.   hal.  64
[6] Jalaluddin, Psikologi Agama,  Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996,  hal.  78
[7]  E. Usman  Effendi dan Juhaya S.Praja, Pengantar Psikologi,  Bandung : Angkasa,  Cet, II, 1985,  hal. 89.
[8] Saiful Hamali. Konflik  Dan  Keraguan  Individu Dalam Perspektif Psikologi Agama. al-AdYaN/Vol.VIII, N0.1/Januari-Juni/2013. hlm. 35
[9] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT.  Dian Rakyat, Cet. VI, 1985, hal. 23.

Konsep Etika Global

ETIKA GLOBAL; JALAN DIALOG MENUJU PERDAMAIAN DUNIA
(Tela’ah Atas Pemikiran Hans Kung)


A.    Latar Belakang
Sekarang ini fakta mengenai konflik, peperangan, diskriminasi dan ketidakdamaian masih menjadi isu utama yang dibicarakan oleh berbagai macam pihak. Fakta ini dibahas, diperdebatkan, dan didengungkan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik itu pemerintah, aktifis sosial, pemuka agama, bahkan kaum miskin dan orang-orang yang bahkan minim pendidikan secara formal. Perbincangan ini terjadi karena dampak dari konflik dirasakan oleh hampir seluruh ciptaan, dalam hal ini manusia, hewan, dan tumbuhan.
Globalisasi mengambil peran dalam kehidupan manusia. Masyarakat  didorong untuk masuk kedalam tatanan global yang tidak dipahami sepenuhnya oleh siapapun tetapi dampaknya dapat dirasakan oleh bumi dan seluruh penghuninya. Globalisasi merupakan fenomena “disini”, yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan manusia yang intim dan pribadi.[1]
Konflik, peperangan, dan kekerasan yang muncul dengan berbagai macam bentuk merugikan dan menyedihkan. Dan sejauh ini hanya menambah penderitaan bagi semua ciptaan yang tinggal di bumi. Dalam dua Perang Dunia kira-kira 600 juta manusia tewas[2]. Konflik Israel-Palestina yang belum terselesaikan walau sudah memakan banyak korban[3], dan di Indonesia peristiwa konflik Ambon dimana orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang Kristen menimbulkan korban yang cukup banyak.
Dalam setiap kehidupan masyarakat, terdapat orang yang berusaha berusaha berbuat kebaikan dan menjauhi kejahatan. Orang tidak hanya selalu mengikuti keinginannya begitu saja, akan tetapi juga mengetahui yang baik dan yang jahat. Akan tetapi terdapat kesulitan dari kehidupan demokratik pada masyarakat plural, jika tidak diperoleh konsensus bersama. Setidaknya untuk memungkinkan kelompok minoritas turut menyumbangkan perannya dalam kehidupan bersama. Maka dari itu dibutuhkan nilai, norma dan sikap bersama agar manusia bisa hidup bersama secara harmonis.
Untuk mencapai tujuan mulia itu diperlukan koalisi antara Yang Percaya (believers) dan Yang Tidak Percaya (non-believers). Bahkan diantara orang-orang yang kini cenderung menolak agama, ternyata masih hidup secara bermoral karena memiliki tanggung jawab bagi mereka sendiri dan juga bagi dunia. Karena itu orang harus dibebaskan untuk memiliki atau menolak agama dan harus ada koalisi minimum antara Yang Percaya dan Yang Tidak Percaya kepada Tuhan untuk bisa hidup bersama secara damai.
Maka dari itu, tujuan dari makalah ini yaitu berupaya menjelaskan konsep etika global dalam upaya menciptakan perdamaian dunia melalui jalan dialog antar agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A.                Kebangkitan Agama 
Pada tahun 1980an, tidak lama setelah Revolusi Iran terjadi, bahasa yang kerap dipakai untuk menyebut kebangkitan agama di ruang publik adalah fundamentalisme. Agama  bukan saja hadir di ruang publik, namun juga efektif dalam peristiwa-peristiwa sosial politik. Pluralisme  merupakan persoalan bagaimana upaya akomodasi agama-agamdi  ruang publik    dirumuskan dengan tetap mempertahankan keragaman itu tanpa berusaha menyeragamkannya, ataupun meminggirkannya ke ruang privat.  Fundamentalisme adalah satu  wajah saja dari banyak wajah agama yang tampil di ruang publik. Maka fundamentalisme mungkin bukan lawan dari pluralisme melainkan satu  kenyataan yang tak bisa ditolak  yang menjadi bagian dari keragaman itu[4].
Kesadaran akan  kenyataan sosiologis kebangkitan agama-agama inilah  yang  mendasari tesis Samuel Huntington yang amat terkenal mengenai benturan peradaban. Disaat Huntington meramalkan benturan, Kung  percaya bahwa dialog  bisa  terjadi dan mencari jalan  untuk itu. Dengan pernyataan termasyhur yang mengaitkan dialog  antaragama dengan perdamaian itu, Kung menjadi salah  satu  ikon dialog. Selain dikenal sebagai sarjana pengkaji agama-agama, Kung juga penggiat perjumpaan antar agama melalui  dialog. Lebih jauh,  ia menggagas etika  global yang diharapkan menyatukan (bukan menyeragamkan) agama-agama melalui keprihatinan bersama. Dengan ini, dialog bukanlah persoalan teologis semata, tapi  sudah merambah dan  terlibat penuh dalam persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik  dunia.
Etika global  yang  digagas Kung  lahir  karena ada  tanggungjawab global  yang  diemban agama-agama. Perhatian Kung pada hubungan antaragama dan pentingnya dialog sebagai modus perjumpaan antaragama, maupun pemosisian agama dalam konteks luas kehidupan sosial, ekonomi, dan  politik.

B.                 Perdamaian Agama Melalui Jalan Dialog
Seluruh agama dunia saat ini harus menyadari peran sertanya untuk perdamaian dunia. Seseorang tidak perlu sering mengulang alasan tersebut. Karena Kung telah menemukan bertambahnya penerimaan di seluruh dunia tidak  ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama. Intinya tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama[5].
Keterlibatan konstruktif dengan agama lain di dunia ini demi perdamaian di dunia sangat penting untuk bertahan hidup. Dalam milenium ketiga, mengikuti contoh dari Eropa, kita seharusnya memiliki ‘ekumeni’  damai yang sangat  berbeda atau kita tidak memiliki ekumeni, sama sekali tidak ada ‘dunia yang berpenghuni’. Pada tahun 1988, foto-foto komputer bagian Bima Sakti  yang  sangat jauh  dari kosmos jaraknya lima  belas  milyar  tahun cahaya.  Dengan ukuran alam  semesta yang  luar  biasa  dan penilaian manusia yang  terlalu  tinggi  tentang dirinya  sendiri, Tuhan alam  semesta dan evolusi benar-benar tidak  tergantung pada planet kecil kityang  berjalan cepat sepanjang garis  galaksi-galaksi yang mencapai ratusan juta. Sebaliknya, planet ini sangat memerlukan Tuhan alam semesta dan evolusi. Pandangan ini  memaksa kita  untuk menyadari tanggung  jawab sat sam lain  dan   untuk supaya meninggalkan sifakeras  kepala  ketika  berhubungan dengan yang lain. Dan hal ini berlaku secara sentral pada pertanyaan yang mungkin paling  diperselisihkan dalam agama, yaitu pertanyaan tentang  kebenaran.

C.                Dialog Agama Melalui Pengkajian Hingga Dasarnya
Orang Yahudi atau Islam  dapat menulis tentang  Kristen,  dan  orang Kristiani  menulis tentang Yahudi dan  Islam, setidaknya sepantas orang Perancis  dapat menulis tentang  Jerman dan  orang Jerman dapamenulis tentang Perancis. ‘perspektif orang luar’ tentang yang lain seringkali lebih mudah mengenal persoalan dan kesempatan daripada perspektif orang dalam yang  telah  familiar  dengan segala hal.  Secara  ‘pantas’ tidak  berarti secara objektif dan tanpa keterlibatan (hanya  sebagai pengamat belaka), tidak  juga  berarti mengikuti kemauan sendiri  dan tidak objektif (sebagai seorang penganut agama) secara  pantas yaitu dengan komitmen pribadi dan khususnya dengan kepentingan tertentu terhadapersoalan tersebut.

D.      Etika Global dan Pluralisme[6]
Kuliah umum tentang Pluralism as A Global Ethic pernah disampaikan Kung di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (27 April 2010). Ia berhasil mengajak audiens untuk lebih memahami apa itu etika global dan pluralisme. Karyanya yang berjudul Islam: Past Present and Future cukup membuat orang lupa bahwa ia seorang Kristen. It’s so amazing and interesting. Sebagaimana pengakuannya, buku ini dibuat dalam rangka menanggapi kasus kartun pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, melalui diskusi seimbang dan gagasan konstruktif. Kung secara tegas menolak ide ”benturan peradaban” Huntington karena menurutnya yang mesti dikedepankan adalah dialog demi tercapainya keharmonisan antar peradaban.
Hans Kung merupakan sosok post-orientalis yang diharapkan mampu menjembatani hubungan Islam dan Barat, yang tak bisa dipungkiri sarat dengan kecurigaan. Ketika orientalisme muncul, Barat memang begitu bergairah mengkaji dunia Timur (termasuk Islam di dalamnya), namun sayangnya tanpa dilandasi ketulusan. Kaum orientalis melakukan penelitian tak lebih dari sekadar demi mempermudah kolonialisasi dan imperialisasi terhadap dunia Islam. Edward Said, Hasan Hanafi, Ziauddin Sardar, dan Nurcholis Madjid termasuk yang tajam dalam mengkritik kiprah kaum orientalis tersebut. Meski demikian, pada akhir abad ke-20 mulai muncul sejumlah pemikir Barat yang berusaha memandang dan menampilkan Islam dengan wajah ramah dan teduh, bahkan mereka tak segan-segan ”membela” saat Islam didiskreditkan. Mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai kaum post-orientalis, yang di antaranya adalah Karen Armstrong, John Esposito, Huston Smith, dan Hans Kung.
Kung memang dikenal sebagai teolog yang cinta perdamaian dan persahabatan agama-agama manusia. Sebagai seorang yang memiliki andil besar dalam ”Forum Parlemen Agama-agama Dunia” di Chicago pada tahun 1993, yang dihadiri sekitar 6.000 partisipan, Kung berhasil membuat draf yang diberi judul Declaration Toward A Global Ethic. Kung memberikan orasi ilmiah dalam parlemen tersebut yang inti gagasannya seputar perdamaian diabadikan dalam torehan tinta sejarah sebagai karya pemikiran manusia brilian: ”Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama, tak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama, dan tak ada dialog antaragama tanpa mengkaji fondasi agama-agama.”
Dalam deklarasi universal etika global terdapat beberapa prinsip pokok yang melandasi pentingnya perdamaian dunia yang dibangun secara kultural oleh peranan umat beragama. Misalnya, deklarasi itu harus bisa diakses oleh kepentingan semua agama, dan kepentingan yang ada harus berpedoman pada dasar-dasar humanisasi. Kung amat menekankan pentingnya penerapan the golden rule atau yang dikenal sebagai etika timbal-balik (ethic of reciprocity), yang berbunyi: ”Berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana Anda ingin orang lain berbuat kepada Anda. Jangan berbuat kepada orang lain, sebagaimana Anda tidak ingin orang lain berbuat kepada Anda.” Jalan tengah Saat menjadi juru bicara perdamaian, Kung tidak hanya mewakili umat Kristen. Menurutnya, setiap kekuatan yang mendorong ke arah perdamaian harus dipandang bermanfaat bagi humanisme global.
Oleh karenanya, kekuatan tersebut tidak berhak dimiliki secara komunal oleh agama tertentu. Akibatnya, Kung diklaim sebagian kalangan sebagai penjunjung pluralisme. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya Kung mendukung pluralisme yang proporsional. Ia mengatakan, ”Saya mencoba jalan tengah yang sulit diantara dua ekstrem. Di satu sisi, saya ingin menghindari absolutisme naif, yang mengabsolutkan satu kebenaran dari kebenaran yang lain. Namun, pada saat yang sama, sebagai teolog Kristen, saya juga tak mengharapkan dari siapa pun relativisme dangkal yang merelatifkan semua kebenaran dan menyamaratakannya. Rasanya hal ini tidak bisa dipertahankan, sebuah pluralisme asal-asalan yang tidak membedakan agamanya sendiri maupun agama lain.” Perjuangan ini bukan tanpa risiko. seringkali ia memperoleh perlawanan dari kalangan konservatif. Bahkan, pernah diusir dari tempatnya mengajar ke Universitas Tubingen. Ini menunjukkan bahwa seorang yang menyeru perdamaian ternyata tak selalu memperoleh dukungan positif dari lingkungan sekitarnya.




BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Etika global merupakan sebuah langkah serius dalam mewujudkan perdamaian dunia melalui jalan dialog antar agama dengan mengedepankan nilai-nilai inklusifisme.
2.      Ide tentang the golden rule harus betul-betul terinternalisasi dan menjadi sebuah landasan bersama yang disepakati oleh seluruh Negara-negara dunia.
3.      Declaration Toward A Global Ethic yang digagas oleh Hans Kung harus terimplementasi secara global dan praktis serta diberikan payung hukum yang kuat, sehingga bukan sekedar menjadi  simbol tanpa penerapan yang nyata.









DAFTAR PUSTAKA
Anthony Giddens, Runaway World – Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001).

Bagir, Zainal Abidin. Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim. Program Studi  Agama  dan  Lintas Budaya (Center  for Religious  and  Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah  Pascasarjana, Universitas  Gadjah Mada

John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996).

Trias Kuncahyono, Jerusalem–Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008.

Tulisan Hans Küng di pengantar buku “Chistianity & World Religion (2002), Orbis Books, Markinol  New York.

www. Kompasiana.com,muhammadanis, etika global dan pluralisme kung. diunggah 18 Juni 2010







[1] Anthony Giddens, Runaway World – Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm 7.
[2] John Stott, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1996), hlm 192.
[3] Trias Kuncahyono, Jerusalem–Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008),257.
[4] Bagir, Zainal Abidin. Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim. Program Studi  Agama  dan  Lintas Budaya (Center  for Religious  and  Cross-cultural Studies/CRCS) Sekolah  Pascasarjana, Universitas  Gadjah Mada

[5] Tulisan Hans Küng di pengantar buku “Chistianity & World Religion (2002), Orbis Books, Markinol  New York.

[6] www. Kompasiana.com,muhammadanis, etika global dan pluralisme kung. diunggah 18 Juni 2010